Oleh : Ngurah Adnyana, Direktur (Operasi Jawa Bali Sumatera)
Suatu hari di akhir 2011 saya menerima sms dari seseorang:”Pak
Adnyana, masih ingat saya? Saya staf Bapak dulu di Bekasi“. Setelah saya
ingat-ingat kemudian saya jawab: “Masih dong Pak. Apa kabar ?”
Saya memang harus mengingat-ingat karena saya bertugas sebagai
Kepala Cabang Bekasi (sekarang Manajer Area) tahun 1986-1990. Jadi sudah 20-25
tahun lalu ketika itu. Setelah dua kali sms-an dan kelihatannya masih banyak
yang mau diceritakan maka dari pada ber sms-an terus, akhirnya saya telepon
saja dan kami pun berbicara via telepon.
Setelah bernostalgia dengan cerita-cerita jaman dulu, ada satu
pernyataan yang membuat saya kaget campur kagum ketika dikatakan: “Pak,
sampai sekarang saya konsisten lho menerapkan prinsip yang Bapak ajarkan dulu
ke saya.“ Waduh prinsip apa yang pernah saya sampaikan dulu ya…?
Mudah-mudahan prinsipnya benar. Kalau prinsip keliru yang saya sampaikan
dulu……matilah aku.
Sambil bertanya-tanya dalam hati, saya tanyakan: “Lho…prinsip
apa yang dulu saya sampaikan?” Kemudian dia menjawab: “Itu lho Pak,
yang Bapak istilahkan prinsip123….”
Nyeees…..hati saya langsung terasa sejuk ketika dibilang prinsip 123, karena prinsip itu bukan prinsip keliru dan masih layak diterapkan sampai sekarang.
Nyeees…..hati saya langsung terasa sejuk ketika dibilang prinsip 123, karena prinsip itu bukan prinsip keliru dan masih layak diterapkan sampai sekarang.
Apa itu prinsip 123 ?
Ada bagusnya saya cerita latar belakangnya dulu ketika saya bertugas di Bekasi.
Ada bagusnya saya cerita latar belakangnya dulu ketika saya bertugas di Bekasi.
Sampai dengan 1985 PLN Bekasi masih berstatus Ranting (sekarang
Rayon) dibawah Cabang Purwakarta. Mengingat pertumbuhan Bekasi sangat pesat
sebagai penyangga ibu kota Jakarta, Bekasi kemudian ditetapkan sebagai Cabang.
Pak Eddy Djatmiko -senior saya- menjadi Kepala Cabang Bekasi yang pertama.
Beliau memang ditugaskan untuk mempersiapkan Bekasi dari Ranting menjadi
Cabang. Istilahnya menjadi Bapak “Proklamator” untuk memerdekakan Bekasi
menjadi Cabang. Kemudian saya menggantikan Pak Eddy dengan tugas “mengisi
kemerdekaan” PLN Cabang Bekasi.
Di organisasi manapun, memulai sesuatu yang baru pasti banyak
tantangannya. Disamping tantangan internal mengenai SDM, proses bisnis, dan
lain-lain, tantangan terbesar dari luar yang saya rasakan saat itu adalah
menghadapi wartawan media cetak. Media elektronik belum ada saat itu. Kenapa
wartawan menjadi tantangan terbesar ?
Biasanya di daerah yang sedang bertumbuh, semuanya berlomba
tumbuh, adu cepat. Mulai dari pertumbuhan penduduk, pertumbuhan perumahan
beserta kebutuhan listriknya sampai pada kualitas layanannya. Penduduk Bekasi
itu kebanyakan bekerja di Jakarta. Jadi tinggalnya di Bekasi, tuntutannya
kualitas layanan ibu kota. Yang menjamur juga adalah wartawan tanpa koran.
Memang itulah resikonya daerah pinggiran yang berkembang pesat.
Di sisi lain kantor PLN Cabang Bekasi waktu itu masih menempati
dua ruko yang terpisah (maklum sebelumnya kantor Ranting) dan tidak punya
halaman. Namanya juga ruko. Kondisinya jauh lebih jelek dari kantor Area Kebon
Jeruk yang saat ini masih menempati ruko. Karena tidak punya halaman, siapapun
termasuk calo-calo bisa berada di depan pintu loket PLN.
Karena jaraknya dekat dengan Jakarta, berita-berita yang ada di
Bekasi akan menjadi liputan berita media nasional Jakarta. Kalau sudah masuk
berita nasional, pastilah beritanya sampai ke meja Direksi PLN atau Pemerintah
Pusat. Memang tidak selalu merugikan. Kalau beritanya positif, tentu bangga.
Tapi kalau beritanya negatif -walaupun ini terkadang bias, saya harus siap
memberi penjelasan dan lebih sering kepada Direksi langsung.
Kalau beritanya tidak tepat biasanya saya pakai hak jawab untuk
meluruskan. Tapi kalau beritanya sudah mengada-ada, maka hak jawab saya
tembuskan ke Dewan Pers.
Contoh berita yang masih melekat dalam ingatan saya yaitu ketika
kami pindah kantor dari ruko ke kantor baru yang ada halamannya. Waktu itu saya
minta satpam mengawasi orang-orang yang ada di halaman kantor baru PLN. Kalau
orang tersebut mau ke loket PLN, antar dia ke loket. Tapi kalau orang tersebut
tidak ada urusan, suruh keluar saja (biasanya orang seperti ini masuk katagori
calo yang menunggu mangsa di kantor PLN). Dulu semua masih manual, belum ada
contact center 123, website, dan lain-lain. Nah karena dianggap membatasi gerak
calo, mereka memakai pers sebagai sarana penyerangan. Diberitakanlah Kepala PLN
Cabang Bekasi melakukan ini…., itu……yang merugikan masyarakat. Ya kalau sudah melenceng
begini, pakai hak jawab kita dan dilaporkan ke Dewan Pers. Tapi syaratnya
sebagai Kepala Cabang harus profesional dan tidak punya celah-celah kelemahan
baik dari sisi skill, knowledge apalagi integritas yang bisa dimanfaatkan untuk
menjadi bumerang.
Jadi berdasarkan pengalaman itulah saya kemudian merenung,
prinsip-prinsip apa yang perlu diterapkan sebagai pemimpin unit agar program
bisa berjalan optimal tanpa diganggu oleh kesibukan-kesibukan yang tidak perlu.
Beberapa hal saya pikirkan.
Pertama, ketika kita menjalankan program kerja yang sudah
disusun, kebijakan apa yang perlu diambil sehingga semua rekan kerja kita bisa
mengikuti dan memberi dukungan dengan optimal. Termasuk dukungan dari
rekan-rekan wartawan beneran maupun yang palsu.
Kedua, ketika semua berita di Bekasi dibaca Direksi PLN,
bagaimana caranya agar begitu membaca berita tersebut Direksi tidak perlu
bertanya karena sudah memahami konteks beritanya. Nah ini yang sulit.
Ketiga, ketika kita mengambil keputusan kira-kira konsekuensi
apa yang perlu diperhitungkan kedepan sehingga program masih berjalan dibawah
kendali kita. Dalam contoh diatas membuat tembusan ke Dewan Pers, tapi hubungan
kita dengan wartawan akan tetap baik-baik saja.
Dari renungan itulah kemudian dirumuskan beberapa prinsip yang
diberi istilah prinsip 123 dan Kepemimpinan 123 kalau dimanfaatkan dalam
konteks kepemimpinan.
Adapun pengertian “123″ dalam Kepemimpinan 123 diterjemahkan
sebagai berikut:
(1) Menjadi nomor satu atau profesional
Dalam bekerja harus profesional, unggul, menjadi nomor satu.
Nomor satu ini juga bisa diartikan punya visi dan prinsip yang jelas (misalnya
punya integritas yang kuat dan menjadi pendukung PLN Bersih No-suap) sehingga
bisa menjadi teladan bagi anak buah. Nomor satu juga berarti tidak boleh membuka
peluang dilemahkan. Apalagi jaman sekarang ini yang benar saja bisa dijadikan
tersangka, apalagi kalau kita membuat kelemahan entah berorientasi harta dan
wanita (bagi laki-laki tentu). Kelemahan bisa mengikat diri kita sendiri
sehingga kita tidak bisa menjalankan tugas kita secara maksimal.
(2) Berpikir dua tingkat keatas atau proaktif
Dalam mengambil keputusan, posisikan diri dua tingkat diatas
posisi kita saat ini. Dengan mengambil posisi demikian, maka cara memandang
masalah yang dihadapi menjadi lebih luas, pertimbangan yang dipakai juga lebih
luas sehingga dipastikan keputusannya lebih akurat. Misalnya kalau sekarang
pada posisi Manajer Area, posisikan diri sebagai Direktur. Satu tingkat diatas
Manajer Area adalah GM, atasan GM adalah Direktur. Demikian juga kalau sekarang
posisinya Manajer Rayon, posisikan diri sebagai GM (Manajer Rayon-Manajer
Area-GM). Kalau posisi sekarang Supervisor di Unit, posisikan diri sebagai
Manajer Unit (Supervisor-Asman-Manajer).
Intinya, kalau mengambil keputusan pakailah pertimbangan dua
tingkat diatas kita, maka keputusan yang diambil pasti lebih akurat atau konsep
surat yang diajukan ke atasan kita (bagi staf) pasti disetujui. Yang sulit
memang memposisikan diri sebagai dua tingkat diatas kita. Tapi bagi yang mau
mencoba, pasti bisa.
(3) Berpikir tiga langkah kedepan atau antisipatif
Dalam mengambil keputusan atau kebijakan, sebagai pemimpin harus
bisa mempersiapkan tiga langkah berikutnya sehingga keputusan yang diambil
tetap bisa berjalan sesuai tujuannya. Kalau dalam permainan catur, menggerakkan
satu buah catur harus sudah bisa memperhitungkan minimal tiga langkah
berikutnya untuk memenangkan pertandingan. Dalam istilah manajemen, harus sudah
dilandasi dengan kajian manajemen resiko (risk management).
Sekarang teori kepemimpinan 123 ini tidak hanya teman dari
Bekasi tadi yang menerapkannya. Kepemimpinan 123 ini juga sudah dishare kepada
teman-teman lainnya, malah sudah jadi materi wajib pada training LE4ECI
(Leadership Engine for Execution Capability Improvement) atau LCDP (Leadership
Capability Development Program) yang dilaksanakan oleh Pusdiklat dan teori ini
juga bisa ditemukan pada program LCYP (Leadership for Committed Young People)
bagi generasi muda yang di bawah level Supervisor dalam bentuk Leadership
123-basic.
Penerapan Kepemimpinan 123 secara langsung dalam kehidupan di
PLN akan meningkatkan kepedulian terhadap perusahaan (organisation awareness)
juga kepekaan terhadap kebutuhan perusahan (organisation sensibility) sehingga
selalu ingin memberikan yang terbaik. Dan ini akan menghasilkan pencapaian
kinerja unit yang luar biasa.
Dari tiga prinsip diatas, menurut Anda prinsip mana yang paling
menantang untuk diterapkan ? Kenapa ?
Selamat mencoba. Selamat Hari Listrik Nasional ke 68
Jakarta, 30 Oktober 2013


